10 Puisi Cinta Sapardi Djoko Damono yang Tak Lekang Waktu | WISMA BAHASA

Jl. Affandi, Gang Bromo #15A, Mrican, Yogyakarta 55281, Indonesia

+62 851 0147 8518 / +62 274 520341 marketing@wisma-bahasa.com

10 Puisi Cinta Sapardi Djoko Damono yang Tak Lekang Waktu

Jika Anda menyukai sastra Indonesia, tentunya nama Sapardi Djoko Damono tak asing lagi di telinga. Sastrawan asal Surakarta itu telah berpulang pada hari Minggu, 19 Juli 2020 lalu. Selama hidupnya, Sapardi banyak menulis puisi-puisi yang fenomenal, salah satunya bertemakan cinta. Salah satu karya kumpulan puisinya yang banyak diperbincangkan adalah “Hujan Bulan Juni”.

Ketika Anda belajar mengenai sastra Indonesia, puisi adalah salah satu karya sastra yang tidak akan lepas dari kajian. Bentuk tulisan ini menggunakan irama, rima, serta penyusunan larik dan bait. Seorang penyair, yaitu orang yang menciptakan puisi, menyampaikan sebuah pesan tertulis dalam gaya bahasa yang bernuansa seni, untuk menambah kualitas estetikanya. 

Dalam puisi-puisinya, Sapardi memiliki ciri khas tersendiri. Beliau menggunakan diksi yang sederhana dan tidak terlalu mendayu-dayu. Meski demikian, maknanya sangatlah kuat dan mendalam.

Meski Sapardi tak lagi berada di tengah-tengah kita, karya-karyanya akan selalu dikenang oleh seluruh pecinta seni dan karya sastra Tanah Air. Berikut deretan puisi romantis karya Sapardi yang akan selalu menyentuh hati para pembacanya.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

mencintai angin
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat

mencintai cakrawala
harus menebas jarak

mencintai-Mu
harus menjelma aku

dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja
yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu bunga jambu,
yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

dalam magrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun jauh di sana,
bersijingkat di jalan kecil itu,
menyusup di celah-celah jendela dan pintu,
dan menyentuh- nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya,
yang setia mengusut rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku

aku mencintaimu,
itu sebabnya aku tak pernah selesai mendoakan keselamatanmu

Tentu. Kau boleh mengalir di sela-sela butir darahku,
keluar masuk dinding-dinding jantungku,
menyapa setiap sel tubuhku.

Tetapi jangan sekali-kali pura-pura bertanya kapan boleh pergi
atau seenaknya melupakan percintaan ini

Sampai huruf terakhir sajak ini,
Kau-lah yang harus bertanggung jawab atas air mataku.

Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput;

Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;

Sesaat adalah abadi
sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana

hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu

hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu

“Jangan kauulang lagi
Menjenguk wajah yang merasa sia-sia,
yang putih
yang pasi itu.

Jangan sekali-kali membayangkan
Wajahmu sebagai rembulan.

Ingat, jangan sekali-kali. Jangan.

Baik, Tuan.”

Yang fana adalah waktu.
Kita abadi: memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa

“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.

“Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri,

Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini,
kau akan tetap kusiasati,

pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.”

Itulah 10 puisi karya Sapardi Djoko Damono. Bagaimana perasaan Anda sesudah membacanya? Romantis sekali, bukan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.