Di beberapa perempatan jalan, khususnya di Yogya, ada petunjuk yang berbunyi “(belok) ke kiri jalan terus”. Artinya, jika di perempatan itu lampu lalu lintas sedang berwarna merah, Anda bisa jalan terus kalau belok ke arah kiri. Ingat, di Indonesia kendaraan berjalan di sebelah kiri jalan, bukan di sebelah kanan jalan.
Kebijakan ke kiri jalan terus memang diambil guna mengurangi kemacetan di sebuah perempatan. Di Jakarta, untuk bisa melewati perempatan bisa dibutuhkan empat atau lima kali menunggu pergantian lampu lalu lintas. Mungkin lebih. Kata “macet” seakan-akan identik dengan jalan-jalan di Jakarta atau mungkin identik dengan Jakarta itu sendiri.
Tidak ada yang aneh dengan kebijakan ke kiri jalan terus. Niatnya baik karena perjalanan ke arah kiri perempatan tidak akan mengganggu atau menim¬bulkan tabrakan dari arah lain. Tapi, coba Anda perhatikan lagi kasus berikut ini.
Di Yogya, ketika jalanan lebih banyak dipadati oleh sepeda motor, kebijakan ke kiri jalan terus ternyata disiasati lain oleh para pengendara sepeda motor. Jika tiba-tiba lampu berwarna merah, seorang pengendara motor seringkali tidak berhenti.
Dia akan mengambil arah ke kiri (karena belok ke kiri boleh jalan terus). Lalu di jalan sebelah kiri itu, dalam jarak kira-kira 20 meter, dia akan menyeberangi jalan itu. Ini memungkinkan karena di jalan itu posisinya melambat karena juga lampu lalu lintasnya berwarna merah. Dengan demikian, dia dapat melanjutkan perjalanannya dengan mengambil lagi ke kiri jalan terus, sehingga dengan demikian perjalanan lurusnya tidak terhambat oleh lampu lalu lintas.
Tindakan mengikuti arah “ke kiri jalan terus” guna memotong lampu merah (untuk jalan lurus dari sebuah perempatan) sebetulnya tindakan melanggar aturan lalu lintas. Ini tindakan menerabas jarak waktu. Setidaknya dia bisa menghemat 40 detik sampai 80 detik jika rata-rata durasi lampu lalu lintas sebanyak 120 detik. Mungkin tidak banyak. Tapi bayangkan waktu tersebut bagi orang-orang seperti Kimmi Raikonen, Alonso, Valentino Rossi, atau Casey Stoner.
Apakah waktu sangat berarti bagi orang-orang pengendara sepeda motor itu di Yogya? Apakah dia (atau mereka) begitu tergesa-gesa untuk sampai ke tujuan: ke kantor, ke sekolah, ke universitas, ke tempat kerja, atau ke tempat lainnya? Saya rasa tidak. Mereka tidak sedang tergesa-gesa.
Dia hanya terbiasa untuk melanggar atau memangkas atau apa pun yang bisa dilanggar atau dipangkas, termasuk waktu yang terhalang gara-gara lalu lintas. Ini mentalitas penerabas. Mungkin Anda pernah menemukan orang-orang seperti ini di tempat lain dalam konteks yang berbeda. Mungkin Anda pernah menjumpai orang-orang yang sedang menerabas sesuatu. Kalau dia orang Indonesia, Anda jangan heran.
NB: Mulai tahun 2010, (belok) ke kiri jalan terus tidak diperbolehkan lagi.
menerabas jarak waktu: break through distance and time
Disiplin berlalu lintas, itu kunci kenyamanan saat menggunakan jalan raya..
Terima kasih untuk komentar Anda.