Sewa atau Penumpang? | WISMA BAHASA

Jl. Affandi, Gang Bromo #15A, Mrican, Yogyakarta 55281, Indonesia

+62 851 0147 8518 / +62 274 520341 marketing@wisma-bahasa.com

Sewa atau Penumpang?

”Ada sewa, ada sewa,” teriak seorang kenek angkutan umum. Sopir dan kenek kendaraan angkutan umum di Jakarta lebih suka menggunakan kata sewa daripada penumpang. Menurut mereka, ketika para penumpang diminta ongkos, dengan santainya penumpang tersebut menjawab,”Numpang, Bang!” atau “Numpang, Pak!” Itu sebabnya mereka membalas dendam: tak sudi mengucapkan kata ‘penumpang’ beserta turunannya.

Sewa dalam konteks pengangkutan umum di Jakarta bukan berasal dari sewa bahasa Indonesia ’pemakaian sesuatu dengan membayar’, melainkan sewa dialek Medan dari bahasa Batak Toba yang memang berarti ’penumpang’.

Penggunaan istilah sewa sebagai padan penumpang di Jakarta mulai marak tahun 1970-an. Pada tahun-tahun itulah etnisitas Batak banyak masuk Jakarta dan sebagian berprofesi sebagai pengemudi serta kenek pengangkutan umum. Merekalah yang telah membawa kata sewa langsung dari Tanah Tapanuli. Lambat laun sopir dan kenek dari semua etnisitas di Indonesia ramai-ramai ikut menggunakan kata sewa sebagai padan kata penumpang. Meski demikian, kata penumpang tidak serta-merta mati. Di bus antarkota, kereta api, kapal laut, bahkan pesawat terbang, kata penumpang tetap digunakan meski ada pengangkutan umum yang mulai memelopori penggunaan kata tamu dan pelanggan sebagai padan penumpang.

Berkaitan dengan bahasan ini, makna penumpang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat bukanlah ’naik tanpa bayar’, melainkan ’orang yang menumpang atau orang yang naik kereta, kapal, dan sebagainya’. Untuk mewadahi ”naik tanpa bayar”, kamus itu menggunakan frasa penumpang gelap.

Definisi kata penumpang dan menumpang dalam KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat itu diadopsi dari Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta. KUBI sendiri menyerap kata tumpang dari Baoesastra Djawa, juga susunan WJS Poerwadarminta. Di situ tersua toempang dengan makna soengsoen, tetoempoekan, dan soemèlèh ing sadhuwuré. Arti kata tumpang sebagai ’naik tidak bayar’ baru muncul belakangan dan berasal dari frasa penumpang gelap. Karena itu, tak mungkin sopir dan kenek di Jakarta enggan menggunakan kata penumpang karena konotasinya tidak membayar.

Kata sewa dalam arti penumpang masih digunakan kalangan khusus dan terbatas. Artinya, kata sewa sebagai padan penumpang adalah istilah khusus di dunia pengangkutan umum darat. Itu pun masih sebatas kalangan kecil: sopir, kenek, dan kondektur (bus). Para penumpang sendiri dan pemilik kendaraan tetap menggunakan istilah naik dan penumpang. Taksi mulai menggunakan istilah tamu, sementara kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang juga tetap menggunakan istilah penumpang.

Istilah sewa sebagai padan (bukan pengganti) penumpang masih akan lama memasyarakat karena media massa belum menggunakannya. Dunia pendidikan pun melalui buku-buku pelajaran masih belum mengajarkan bahwa sewa merupakan pengganti kata penumpang. Saya yakin kata penumpang belum akan mati dan, sebaliknya, sewa sebagai padannya juga tidak akan mudah keluar dari pengguna khusus dan terbatas: kalangan sopir dan kenek.

Kata sewa di kalangan terbatas itu sama sekali tak ada kaitannya dengan makna pemakaian sesuatu dengan membayar. Penumpang juga bukan bermakna ’naik tidak bayar’. Sewa bukan pengganti, melainkan sinonim penumpang, diambil dari kosakata dialek Batak Toba. Dibawa ke Jakarta, kemudian menyebar ke seluruh Indonesia karena semua sopir dan kenek, apa pun etnisitasnya, merasa lebih pédé berteriak: ”Sewa!”  (Sumber: kompas cetak, penulis: F Rahardi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.