Filosofi Nasi Kucing dalam Masyarakat Jawa | WISMA BAHASA

Jl. Affandi, Gang Bromo #15A, Mrican, Yogyakarta 55281, Indonesia

+62 851 0147 8518 / +62 274 520341 marketing@wisma-bahasa.com

Filosofi Nasi Kucing dalam Masyarakat Jawa

Mas Kosuke mengambil nasi kucing bungkus yang ke-3. Dengan cekatan dia membuka bungkusnya dan memakan nasi berlauk teri cabai hijau dengan lahap, ditambah sate telur dan tempe goreng.  Di sebelahnya, Mbak Misako memakan nasi kucingnya dengan perlahan-lahan, suapannya kecil tetapi teratur dan dia kelihatan sangat menikmati setiap suapan. Mas Kosuke, Mbak Misako dan beberapa guru serta murid Wisma Bahasa lain, sedang menikmati Nasi Kucing di warung Angkringan dekat Wisma Bahasa petang itu. Mereka duduk bersama warga lokal, dan mencoba mempraktekkan bahasa Indonesia mereka dan mengobrol dengan mereka.

Di Yogya dan Solo, Nasi kucing sangat populer. Sahabat WB (Wisma Bahasa) akan menemui warung yang menjual Nasi Kucing hampir di setiap sudut kota. Nasi Kucing sudah menjadi salah satu makanan khas Yogya. Pada dua artikel sebelumnya, kita sudah membahas mengenai apa itu Nasi Kucing dan bagaimana sejarahnya, kali ini kita akan mencari tahu filosofinya. Filosofi Nasi Kucing? Ya benar….ternyata Nasi kucing punya filosofi lho.

Di Masyarakat Jawa, Filosofi Nasi Kucing yang pertama adalah kesederhanaan bisa membawa kebahagiaan. Nasi Kucing memiliki porsi yang kecil dan lauk sederhana. Tampilannya pun sederhana, karena hanya dibungkus dengan daun pisang atau kertas minyak. Porsinya yang kecil tentu membuat harganya juga ramah di kantong. Tapi dengan porsi dan lauk yang sederhana, pembeli sudah merasa nikmat dan puas dengan rasanya. Nasi Kucing juga menunjukkan gambaran kehidupan masyarakat kecil di Indonesia. Hanya dengan nasi kucing mereka bisa bertahan hidup dan mensyukurinya. Nasi kucing juga identik dengan angkringan yang tampil apa adanya menyuguhkan kepada pelanggannya makanan sederhana yang nikmat di kantong dan di rasa serta kebersamaan sesama pelanggan yang memberikan makna dan kebahagiaan. 

Makna kedua adalah gambaran etika perempuan Jawa ketika makan. Cimat-cimit atau sedikit demi sedikit begitulah gambaran seorang perempuan Jawa ketika makan. Pada jaman dahulu Perempuan Jawa dilarang menunjukan lahapnya makan ketika di depan public. Mereka harus makan dengan perlahan, sopan, dan “secukupnya” alias tidak berlebihan, meskipun hidangan yang disuguhkan sangat mereka sukai.

Ternyata menarik juga Filosofi nasi kucing ini ya. Apakah Sahabat WB sudah pernah mencoba makan Nasi Kucing seperti Mas Kosuke dan Mbak Misako? Kalau belum silakan datang ke Wisma bahasa, kita bisa pergi bersama ke warung angkringan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.