Dengan tulisan ini saya ingin menyampaikan kesan-kesan saya mengenai perbedaan-perbedaan yang saya lihat dan alami di antara Jogja pada tahun 1990-an dan sekarang.
Saya sudah mengunjungi Jogja tiga kali selama 32 tahun yang lalu. Pada tahun 1991 saya mengunjungi kota ini sebagai “backpacker” yang baru selesai mempelajari bahasa Indonesia (BI) di universtas selama tiga tahun. Kemudian, saya mengunjungi Jogja pada tahun 1997 sebagai seorang guru bahasa Indonesia untuk duduk di kursus di Wisma Bahasa. Sekarang, saya tidak bekerja sebagai guru lagi, tetapi masih datang ke Jogja minggu yang lalu untuk duduk di kursus di Wisma Bahasa dengan maksud menyegarkan bahasa Indonesia saya.
Sebelum saya berangkat ke Jogja beberapa hari yang lalu, teman-teman saya yang baru mengunjungi ataupun tinggal di kota ini menasihati bahwa saya akan melihat banyak perbedaan dalam penampilan kota ini. Saya diberikan kesan bahwa perkembangan Jogja mirip denga apa yang terjadi di Jakarta sejak 1990-an. Akan tetapi, dalam kunjungan yang sedang berlangsung ini saya belum melihat perbedaan yang sangat besar kalau dibandingkan dengan 1990-an. Misalnya, saya mengingatkan Jogja sebagai sebuah kota pada tahun 1990-an yang penuh dengan gedung yang agak rendah dan tidak ada “skyscrapers”. Yang saya lihat sekarang adalah, pada umumnya, gambaran yang masih cocok dengan deskripsi itu, termasuk di pusat kota. Yang jelas adalah penampilan Jogja masih sangat berbeda dengan Jakarta.
Akan tetapi, ada perbedaan-perbedaan yang besar dan jelas bagi saya mengenai lalu lintas dan angkutan umum. Sekarang, tidak lama lagi ada colt-colt yang pada tahun 1990-an menyediakan system angkutan umum yang sedikit kacau. Lain pada itu, sekarang ada sistem Trans Jogja yang menyediakan sistem bis yang sangat diatur dan diselenggarakan oleh orang-orang yang sangat membantu dan sabar, bahkan kalau menghadapi banyak pertanyaan dari saya. Kesabaran dan sikap membantu itu lebih baik dari yang biasanya saya alami di system bis di beberapa negara-negara yang lain. Akhirnya mengenai topik ini, satu perbedaan jelas yang lain adalah kini ada jauh lebih banyak sepeda motor di Jogja. Oleh karena itu, rasanya di jalan kadang-kadang seperti saya berada di atas sebuah sarang semut.
Dari aspek yang lain, satu perbedaan yang jelas adalah Jogja sangat merangkul era teknologi. Misalnya, on-line apps (contoh Gojek dan Grab) sekarang merupakan tulang punggung sistem angkutan. Dari perspektif ini, Jogja mirip kemajuan yang dialami di banyak kota yang lain. Sebenarnya, berdasarkan pengalaman saya di Jerman dan Perancis, Jogja mungkin lebih maju dari kota di beberapa negara barat mengenai hal ini.
Ada beberapa perbedaan yang lain yang juga positif. Misalnya, ada jauh lebih banyak kebebasan politik sekarang dibandingkan dengan 1990-an. Waktu saya berada di sini tiga puluh tahun yang lalu ada perasaan atau suasana bahwa topik-topik politik seharusnya tidak dibicarakan dan kalau dibicarakan, harus di belakang pintu dan dalam cara yang tidak begitu lansung. Keadaan itu juga saya alami di Wisma Bahasa. Akan tetapi, sekarang ini, semua orang dan di mana pun ingin berbicara secara langsung dan terbuka tentang pemilihan umum 24 atau hal-hal politik yang lain. Saya sangat menyenangi percakapan-percakapan terbuka yang saya alami minggu ini tentang topik politik (dan banyak isu yang lain) di Wisma Bahasa.
Akhirnya, satu hal yang tak berubah adalah Jogja masih merupakan kota yang sangat santai dan ramah-tamah. Ini jelas dalam banyak keadaan. Contohnya tidak hanya bantuan yang saya terima dari pegawai Trans Jogja, tetapi juga kemurahan hati keluarga homestay saya, bantuan yang saya terima dari banyak orang di jalan-jalan, warung, toko, tempat wisatawa, serta dari staf Wisma Bahasa.