Barangkali Anda belum pernah mendengar kata ini sebelumnya. Pantun adalah puisi lama asli Indonesia (Melayu), bukan pengaruh India, Arab, Cina, apalagi Eropa. Strukturnya khas. Terdiri atas empat baris dengan persajakan akhir model a-b-a-b.
Orang Indonesia tidak lagi menulis puisi berupa pantun. Puisi dan karya sastra yang ditulis orang Indonesia sekarang adalah puisi (novel, cerpen, drama) model Eropa. Inilah yang oleh Franco Moretti dianggap sebagai bentuk sastra universal dengan tema-tema lokal. Universal karena pengaruh Eropa yang telah mendunia tetapi mengangkat tema-tema yang bersifat lokal.
Meskipun tidak lagi ditulis, dalam beberapa karya, pantun masih dapat ditemukan. Contohnya seperti pada lirik lagu ”Hujan Gerimis” yang dipopulerkan oleh Benjamin S. dan Ida Royani berikut ini. Pantun ini berdialek Betawi (Jakarta). Anda bisa men-downloadnya di situs 4Shared.
Eh, hujan gerimis aje
Ikan teri diasinin
Eh, jangan menangis aje
Yang pergi jangan dipikirin
Eh, hujan gerimis aje
Ikan lele ada kumisnye
Eh, jangan menangis aje
Kalau boleh cari gantinye
Mengapa hujan gerimis aje
Pergi berlayar ke Tanjung Cina
Mengapa adik menangis aje
Kalau memang jodoh nggak ke mana
Eh, hujan gerimis aje
Ikan bawal diasinin
Eh, jangan menangis aje
Bulan Syawal mau dikawinin
Jalan-jalan ke Menado
Jangan lupa membeli pala
Kalau niat mencari jodo
Cari yang item seperti saya
Ciri khas pantun setengah baris yang pertama (baris 1 dan 2) adalah sampiran (introduksi) sedangkan setengah baris berikutnya (baris 3 dan 4) barulah isinya. Pada baris ke-3 dan ke-4-lah inti pantun itu berada.
Pada baris-baris lagu Benjamin S dan Ida Royani di atas, intinya adalah: /Eh, jangan menangis aje/Yang pergi jangan dipikirin// Eh, jangan menangis aje/Kalau boleh cari gantinye// Mengapa adik menangis aje/Kalau memang jodoh nggak ke mana// Eh, jangan menangis aje/Bulan Syawal mau dikawinin// Kalau niat mencari jodo/Cari yang item seperti saya//
Pantun yang terdiri atas 2 baris disebut karmina sedang yang terdiri atas 6 atau 8 baris disebut talibun. Meski sama-sama terdiri atas 4 baris, pantun berbeda dengan syair (yang berasal dari pengaruh Arab yang tidak mempunyai sampiran) atau dengan seloka (pengaruh India yang bersajak akhir model a-a-a-a).
Dalam berbagai acara tradisional seperti lamaran atau pernikahan, pantun sering dibawakan atau dinyanyikan. Bahkan ada yang berupa berbalas pantun, biasanya secara spontan. Masing-masing daerah Indonesia (baik Jawa, Sunda, Batak, Madura, Bali, maupun daerah lainnya) punya puisi tradisional seperti pantun dengan nama daerah masing-masing.
Tradisi pantun yang mensyaratkan adanya sampiran (sebagai pendahuluan dari isi pantun), mengondisikan perlunya sebuah introduksi, perlunya pendahuluan, perlunya basa-basi sebelum ke pokok atau inti persoalan. Tidak mudah untuk mengubah tradisi ini. Kadang-kadang orang-orang sudah saling memahami dari pernyataan sampirannya saja tanpa melanjutkan isinya. Orang-orang cukup mengatakan, ”Ah, kau ini kayak kura-kura dalam perahu saja” untuk sampiran karmina yang isi kelanjutannya berupa ekspresi yang berbunyi ”pura-pura tidak tahu”.
Dalam kasus KPK vs Polri–Kejaksaan beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudoyono atau lebih dikenal dengan Presiden SBY, tampak lambat dan tidak tegas dalam bereaksi. Jika Anda memahami hakikat pantun, sebetulnya SBY sedang menerapkan politik pantun ”kura-kura dalam perahu”. Bagi orang yang ingin keterusterangan dan suka ke inti persoalan, apa yang dilakukan SBY terkesan lambat dan normatif. Tapi, itulah bahasa politik pantun yang seringkali dimaknai oleh orang Indonesia sebagai tindakan yang santun.
NB:
– Pantun = rhyme, poem
– Dialek = dialect
– Hujan gerimis = mizzle
– Aje atau aja atau saja
– Ikan teri diasinin = salted fish
– Dipikirin atau dipikir = be thought
– Kumisnye atau kumisnya = mustache
– Gantinye atau gantinya = instead
– Jodo atau jodoh = mate
– Nggak atau tidak
– Bulan Syawal adalah bulan kesepuluh pada kalender Hijriyah dan kalender Jawa
– Dikawinin atau dikawini atau dinikahi = married
– Pala atau buah pala = nutmeg
– niat = intention, motive