Banyak orang Indonesia, khususnya para orang tua yang menyuruh anak-anaknya yang masih balita untuk (melakukan) salim bila bertemu dengan orang lain, biasanya dengan orang-orang tua. Mereka meminta anak-anak itu untuk salim dengan orang dewasa lain, mungkin dengan kerabat-sanak saudara atau mungkin kolega keluarganya.
“Ayo, salim! Salim dulu sama Om dan Tante!” begitu pinta ibu atau ayah kepada anak-anaknya jika bertemu dengan keluarga lain. Salim tidak sekedar salam atau bersalaman, yang notabene berjabat tangan. Tentu saja yang mencium tangan adalah orang yang lebih muda, kepada yang lebih tua. Sebenarnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 2008, kata salim bermakna ’sehat, sempurna, tidak rusak’. Entah mengapa kata salim ini mempunyai dalam pemakaiannya di masyarakat berarti bersalaman sambil mencium tangan. Salim adalah model jabat tangan plus mencium tangan. Mungkin kalau hanya bersalaman saja tidak afdol, kurang bermakna. Dalam bahasa Jawa biasanya ada beberapa kata dalam pemakaiannya ’disangatkan’, contohnya: abang (merah) menjadi abing (sangat merah, merah sekali, merah banget), pinter menjadi puinter (sangat pandai, pandai sekali, pandai banget), banter (cepat) menjadi buanter, dan sebagainya. Bisa juga, kata salim ini berasal dari kata salam, karena salamnya sempurna, salam banget, menjadi salim.
Inilah pembelajaran yang diajarkan sejak anak-anak. Mereka tidak hanya menjabat tangan seseorang, tetapi menciumnya juga. Kadang-kadang tidak persis menciumnya dengan hidung, tetapi juga mencium tangan lawan dengan mulut, atau menaruhnya di kening, atau bahkan malah di salah satu pipinya. Dalam adegan ini, pesan yang mau disampaikan tidak sekedar say hello tetapi juga kepatuhan dan penghormatan.
Banyak model berjabat tangan. Ada yang seperti biasa dengan satu tangan, tangan kanan. Ada yang meneruskannya dengan menaruh tangan tersebut ke dada. Ada juga yang berjabat tangan dengan dua tangan terkatup lalu dijulurkan ke lawan. Ada juga yang setelah jabat tangan seperti biasa dilanjutkan dengan saling pegang pangkal jempol masing-masing. Dan model salim!
Saya termasuk orang yang tidak terbiasa salim. Tidak ada tradisi sungkeman dalam keluarga. Salim juga jarang dilakukan. Hanya sekedar berjabat tangan atau bersalaman.
Ketika bertemu dan bersalaman dengan orang-orang yang lebih muda lalu mereka mencium tangan saya, rasanya agak berbeda. Agak risih. Untuk saya itu terlalu berlebihan untuk sebuah jabat tangan, penghormatan yang berlebih. Biasanya, jabat tangan semacam itu, yaitu dengan mencium tangan lawan dilakukan oleh anak-anak kepada kerabat orang tuanya, atau dilakukan oleh murid-murid TK atau SD kepada gurunya, atau para santri kepada kyainya.
Seringkali seorang kyai terkenal juga akan dijabat dan dicium tangannya oleh orang-orang dewasa, bahkan lebih tua daripada sang kyai. Kyai lain akan cepat-cepat menarik tangannya sehabis bersalaman supaya tidak dicium oleh jamaahnya. Tampaknya ia takut kalau menjadi pengkultusan atau penghormatan yang berlebihan.
Dalam sebuah acara TV Indonesia, ada satu berita yang menarik ketika Ramos Horta, Presiden Timor Leste, tengah bersantai di sebuah pantai. Dia dikerubuti anak-anak yang juga ada di pantai itu. Anak-anak itu rupanya tahu siapa yang hadir di sana. Mereka menyalami sang presiden dan menciumi tangannya. Tampak aneh pemandangan itu, mengingat Ramos Horta yang banyak tinggal di barat sebelumnya saat itu mirip seorang kyai yang tengah disalimi oleh para santrinya. Salim adalah sebuah mode budaya tersendiri.
Sebetulnya sejak kapan sih budaya ‘salim’ itu memasyarakat? Saya lahir dan besar di Jakarta, tapi sempat lama tinggal di luar negeri. Setahu saya waktu saya kecil (tahun ’60-an dan ’70-an) budaya salim itu belum ada. Tapi saya perhatikan, sejak tahun ’90-an banyak orang tua yang mengajarkan anak-anaknya untuk ‘salim’ pada anggota keluarga atau tamu yang lebih tua atau dituakan. Seperti penulis, sayapun tidak terbiasa dengan budaya salim ini karena tidak diajarkan demikian oleh orang tua saya.
Ibu Ida, terima kasih untuk komentarnya. Tidak ada catatan kapan munculnya budaya ‘salim’ tersebut. Budaya itu berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat. Budaya ‘salim’ ini adalah khas budaya Jawa, sebagai salah satu cara untuk menghormati orang yang lebih tua. Saya kira di masyarakat non Jawa jarang atau bahkan tidak ada budaya ini, kalaupun ada itu merupakan pengaruh dari budaya Jawa.