Malam minggu lalu, murid-murid Wisma Bahasa dan beberapa guru dan staff pergi bersama-sama untuk makan Nasi Kucing di dekat alun-alun. Murid-murid sangat tertarik dan bersemangat mencoba Nasi Kucing. Mereka juga mencoba makan sate telur puyuh, kaki ayam bakar, minum wedang jahe dan mencicipi makanan lain yang dihidangkan di warung. Ini adalah pengalaman baru untuk mereka dan mereka sangat senang.
Pada artikel sebelumnya, kita sudah membahas mengenai apakah Nasi Kucing itu, tapi apakah sahabat WB (Wisma Bahasa) tahu bagaimana sejarah nasi kucing?
Nasi Kucing diperkirakan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Porsinya sengaja dibuat dengan kecil, karena menyesuaikan dengan kemampuan beli masyarakat saat itu. Kita semua tahu pada saat itu kondisi perekonomian rakyat Indonesia masih sangat menyedihkan. Tentunya nasi ini sangat berarti bagi masyarakat kecil, karena bisa digunakan untuk sarana bertahan hidup.
Nama nasi kucing sendiri baru muncul sekitar tahun 1980, meskipun sudah ada sejak zaman kolonial. Keunikannya tidak hanya karena porsinya yang kecil namun juga karena harganya yang murah meriah. Dulunya, nasi kucing hanya berupa 3 sendok makan nasi dengan secuil ikan bandeng dan sambal.
Saat ini, Nasi kucing tampil denga beragam lauk yang menggiurkan. Tempat menjajakannya pun bukan hanya di warung sederhana di pinggir jalan, tetapi sudah tersedia di restoran-restoran besar. Meskipun sudah naik kelas, Nasi Kucing tetap mempertahankan porsinya yaitu “porsi kucing”, mungkin ini jugalah salah satu penyebab nasi ini sangat populer.
Jadi, apakah sahabat WB akan bergabung dengan murid-murid WB untuk makan Nasi Kucing di Warung Angkringan? Yuk kita bertemu di alun-alun kota Yogya dan makan bersama.