Mula-mula, saya ingin mohon maaf karena saya bukan ahli tentang hal ini. Tetapi, saya masih mau membagi apa saja yang saya lihat dan rasakan di Yogyakarta. Saya orang Katolik dan orang Filipina dari negara yang kebanyakan orangnya beragama Katolik. Ketika pertama kali saya datang di Indonesia, di Yogyakarta, saya tidak merasa ada perbedaan. Artinya, saya tidak merasa bahwa saya orang yang termasuk kelompok yang minoritas di Indonesia. Saya tidak merasa adanya ekspresi diskriminasi apa pun. Lalu, saya memikirkan hal ini: Apakah situasi ini terjadi karena kami orang-orang diplomat dari negara-negara ASEAN+3? Ataukah karena kami seperti tamu pemerintah Indonesia di sini yang harus dihormati oleh orang Wisma Bahasa? Saya pikir ini ada di dalam kesadaran orang Indonesia. Tentu saja, mereka hanyalah orang-orang yang mencintai kedamaian dan yang ingin memajukan kerukunan. Ini hanya perkiraan saya saja.
Lewat presentasi ini, kalau Bapak – Bapak dan Ibu – Ibu memberi saya kesempatan, saya ingin mengungkapkan hasil temuan saya dan perasaan saya tentang toleransi antar-umat beragama di Indonesia. Sebetulnya, saya sedikit khawatir karena saya akan berpresentasi tentang orang-orang Indonesia, di Indonesia. Saya hanya tinggal di sini selama kira-kira sepuluh minggu, terus terang, saya bukan ahli dalam topik ini, saya ingin ulangi, saya bukan ahli dalam topik ini. Meskipun ini bukan bidang saya, saya ingin coba dan saya harap Bapak – Bapak dan Ibu – Ibu bisa mengerti dan memperoleh sedikit pelajaran dari presentasi saya.
Ada kesulitan mencari definisi atau batasan kata toleransi antar-umat beragama. Saya sudah membaca tulisan-tulisan dari internet dan ada definisi sebagai berikut:
- Ada toleransi antar-umat beragama secara hukum pemerintah mengizinkan atau tidak mencampuri aktivitas keagamaan selain dari agama-agama yang resmi di negara ini.
- Sebuah kelompok atau seseorang memperlihatkan toleransi antar-umat beragama kalau mereka tidak menentang lewat paksaan atau retorika atau bisa mendorong secara aktif kepercayaan beragama di mana mereka bukan anggotanya.
- Ada toleransi antar-umat beragama kalau seseorang menerima hak-hak orang lain untuk mempunyai kepercayaan atau keimanan atau mempratekkan aktivitas beragama yang berbeda dari kepercayaan atau keimanannya atau aktivitasnya, meskipun menurut pendapat seseorang keagamaan atau keimanan ini tidak sama atau tidak benar.
Menurut Bapak David Little, seorang dosen di Pratice of Religion, Ethnicity and International Conflict, School of Divinity,di Universitas Harvard, ada kesulitan melaksanakan toleransi antar-umat beragama karena ada kesulitan mengartikan sifat ide ini. Dia masih mencoba menjelaskan kata-kata ini. Dia memberi dua penjelasan. Yang pertama, dia mengatakan bahwa toleransi antar-umat beragama sebagai jawaban atas sebuah kumpulan kepercayaan yang berpikir secara murni yang tidak dapat ditolak, bisa dengan penolakan tetapi tidak memakai paksaan atau kekerasan. Selanjutnya, dia pikir ini alami, kalau ada seseorang yang tidak setuju dengan kita, lalu kita ingin menghukum orang-orang ini. Kalau kita menekankan perasaan atau keinginan ini, menurut dia, ini adalah toleransi. Yang kedua, dan lagi, toleransi tidak hanya berarti kita tidak memakai paksaan atau kekerasan, tetapi kita bisa menghormati pandangan yang lain. Dia pikir ini lebih sulit dipraktekkan daripada yang pertama. Bapak Little memakai kata-kata “sublimated disapproval.”
Menurut Bapak Little, ide yang pertama, ini bisa lebih secara mudah diterapkan karena ini berarti kita tidak memakai paksaan atau kekerasan. Ukurannya bisa dilihat. Sebaliknya, dia pikir juga ada lebih banyak kesulitan menerapkan toleransi menurut batasan kedua karena ini tergantung dinamika di antara orang-orang, bagaimana hubungan mereka lewat diskusi atau debat. Menurut dia, “Kita tidak bisa membuat kebaikan sebagai hukum.” Bersambung. (oleh: Dulce Amor Fortunado, Diplomat dari Filiphina, belajar di Wisma Bahasa 2005)